Jumat, 14 Januari 2011

Ana Khairu Minhu

Suatu hari, Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as, "Hai Musa, bila nanti
kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang yang menurutmu kamu lebih
baik daripada dia." Nabi Musa as lalu pergi ke mana-mana; ke jalanan, pasar,
dan tempat-tempat ibadat. Ia selalu menemukan dalam diri setiap orang itu
suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam beberapa hal yang lain, orang
itu lebih jelek dari Nabi Musa, tetapi Nabi Musa selalu menemukan ada hal
pada diri orang itu yang lebih baik dari dirinya. Nabi Musa tidak
mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata, "Aku lebih
baik dari dia."


Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke tengah-tengah binatang.
Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal yang lebih baik daripada
Nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak, misalnya, bulunya jauh lebih
bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa melewati seekor anjing
kudisan. Nabi Musa berpikir, "Mungkin sebaiknya aku pergi membawa dia." Ia
pun lalu mengikat leher anjing itu dengan tali. Namun ketika sampai ke suatu
tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu.


Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan Allah SWT, Tuhan
bertanya, "Ya Musa, mana orang yang Aku perintahkan kepadamu untuk kaubawa?"
Nabi Musa menjawab, "Tuhanku, aku tidak menemukan seseorang pun yang aku
lebih baik darinya." Tuhan lalu berfirman, "Demi keagungan-Ku dan
kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang kepadaku dengan membawa seseorang yang
kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku akan hapuskan namamu dari daftar
kenabian."


Kata ana khairun minhu atau "Aku lebih baik dari dia" pertama kali diucapkan
oleh Iblis untuk menunjukkan ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud
kepada Adam as tapi Iblis tidak mau. Ia beralasan, "Aku lebih baik dari dia.
Kau ciptakan aku dari api dan Kau ciptakan dia dari tanah." Takabur yang
dilakukan oleh Iblis pertama kali itu adalah takabur karena nasab, takabur
karena keturunan.


Menurut Al-Ghazali, di antara beberapa faktor yang menyebabkan orang menjadi
takabur dan berfikir, "Aku lebih baik dari dia," adalah nasab. Iblis adalah
tokoh takabur karena nasab yang paling awal. Kebanggaan atau kesombongan
karena nasab ini pernah menjadi satu sistem dalam masyarakat feodal.
Feodalisme adalah sistem kemasyarakatan yang membagi masyarakat berdasarkan
keturunannya. Sebagian masyarakat disebut berdarah biru dan sebagian lagi
berdarah merah.


Ada sebuah buku yang dengan secara terperinci mengkritik sebagian sayyid
atau keturunan Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih utama dari
orang yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika ada
orang bukan sayyid yang beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan
tetap lebih rendah dari seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis
buku tersebut, seorang sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang
sayyid yang ahmaq atau tolol. Dalam salah satu buku itu, ia memberikan
contoh sayyid yang berpikiran seperti itu sebagai orang yang takabur karena
nasabnya. Ternyata, penulis buku itu pun adalah seorang sayyid. Namanya
Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.#


Penulis itu mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin as. Ia pernah
menangis terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani mendekatinya
dan bertanya, "Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat seperti ini?
Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?" Lalu Imam dengan
marah menjawab, "Jangan sebut-sebut di hadapanku ibuku dan kakekku, karena
Allah SWT akan memberikan surga kepada siapa saja yang taat kepada-Nya,
walaupun ia adalah seorang budak dari Afrika. Dan Allah akan memasukkan ke
neraka siapa saja yang maksiat kepada-Nya walaupun ia adalah seorang sayyid
dari bangsa Quraisy."


Berbangga sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu perbuatan
takabur, apalagi berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah saw. Orang
yang berbangga karena keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah seperti
orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh takabur.
Orang kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke neraka.


Kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab. Tuhan berfirman,
"Inn $B!) (Jakramakum $B!) (Jndall $B!) (Ji atq $B!) (Jum. Sesungguhnya yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa." (QS. Al-Hujrat 13 ) Pernah
pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah saw dengan membanggakan
nasabnya. Di kalangan masyarakat Arab waktu itu, kebanggaan suatu nasab
didasarkan pada jumlah jasa yang dilakukan nasab itu. Karena itu, mereka
sering menyebut-nyebut jasa orang tua mereka. Orang itu memperkenalkan
dirinya dengan menyebut silsilah orang tuanya sampai keturunan kesembilan.
Rasulullah saw hanya menjawab pendek, "Wa anta $BBd (Jsyiruhum fin n $BcS (J. Dan
engkau, keturunan yang kesepuluh, di neraka." Ia masuk neraka karena
ketakaburannya.


Ketika berhadapan dengan orang yang takabur karena nasabnya, yang
membanggakan kehebatan orang tuanya, Sayidina Ali berkata, "Ucapan kamu
benar. Tapi alangkah jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu."


Al-Ghazali membagi takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan
agama dan kedua, takabur dalam urusan dunia. Takabur dalam urusan agama
dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan takabur karena amal.
Menurut Al-Ghazali, yang banyak takabur karena ilmu adalah para ilmuwan,
filusuf, dan ulama. Apa tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya? Ia
tidak mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia
merasa dirinya paling pintar dan tidak memerlukan bantuan orang lain.


Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua
orang yang lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya
luar biasa pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang
lain lulus dengan nilai pas-pasan. Dua tahun kemudian, diselidiki nasib
kedua orang itu. Orang yang pintar itu ternyata menganggur sementara orang
yang tidak pintar telah menjadi manajer di sebuah perusahaan. Selidik punya
selidik, ternyata orang pintar itu tidak tahan bekerja di satu tempat,
karena dia tidak bisa bekerja sama dengan orang lain. Ia merasa dirinya
pintar sehingga tidak memerlukan bantuan orang lain.


Takabur yang kedua di dalam urusan agama adalah takabur karena amal. Jika
seseorang banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam sebuah hadis
diriwayatkan seseorang yang datang ke majelis Nabi. Orang itu dipuji para
sahabat karena kebagusan ibadatnya. Tapi Nabi mengatakan, "Aku melihat bekas
tamparan setan di wajahnya." Nabi kemudian menyuruh sahabat membunuh orang
itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik di antara orang lain. Di
waktu lain, Rasulullah saw bersabda, "Jika ada seseorang yang berkata,
$B!) (Janusia ini semuanya sudah rusak, $B!) (Jdan ia merasa bahwa hanya dirinya yang
tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang paling rusak."


Ada orang yang merasa amalnya sudah bagus sehingga dia merendahkan orang
lain. Ada juga orang yang merasa dirinya amat saleh dan segera menganggap
rendah orang lain yang tidak salat berjemaah di masjid seperti dirinya. Ia
pun mengecam orang lain yang salatnya dijamak. Orang-orang seperti itu
termasuk orang yang takabur karena amalnya.


Sayidina Ali mengajarkan kepada para pengikutnya, "Kalau kamu berjumpa
dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih
sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua,
berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari amalku." Setiap
orang pasti ada kelebihannya. Kita juga punya kelebihan, tetapi hal itu
tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia daripada orang lain. Begitu kita
merasa diri kita lebih mulia dari orang lain dan ingin diperlakukan sebagai
orang mulia secara diskriminatif, kita sudah jatuh kepada takabur.
Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal.


Takabur bagian kedua menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam urusan dunia.
Takabur dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena
nasab, seperti telah dijelaskan di atas. Kedua, karena harta kekayaan.
Ketiga, karena kekuasaan. Keempat, karena kecantikan. Kelima, karena
banyaknya anak buah dan pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya
diderita oleh para ulama.


Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi." Kita dapat mengukur hati
kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak, dengan menjawab beberapa
pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut: Ketika Anda masuk ke
dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara dengan Anda duduk di
tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat yang lebih rendah,
apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Ketika Anda akan memilih menantu
dan memperhatikan keturunan calon menantu itu, lalu ternyata keturunannya
tidak sebanding dengan Anda, apakah Anda merasa berat menerimanya? Apakah
Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada
Anda? Apakah Anda merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika
menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab "ya" untuk salah satu dari
pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam takabur.


Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw bersabda,
"Pastilah orang yang takabur itu punya cacat dalam dirinya yang ia
sembunyikan." Hadis itu saya kira sangat modern. Menurut Psikologi mutakhir,
orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya adalah orang
yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan mereka berusaha
menutupinya.


Kita dapat mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan bersikap tawadhu.
Tidak ada obat bagi takabur selain bersikap rendah hati.


(Ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Pengajian Ahad, tanggal 5 September
1999, di Masjid Al-Munawwarah, Bandung. Dengan beberapa perubahan
redaksional, ceramah ini ditranskrip oleh Ilman Fauzi R

0 komentar:

Posting Komentar